I Am Sarahza

Amanda Azallia
4 min readJul 5, 2023

--

Hanum S. Rais & Rangga Almahendra (2018)

Berlatar rerumputan di seberang Monumen Nasional

“Di mana ada harapan, di situ ada kehidupan” — Hanum & Rangga

Kisah Hanum & Rangga dalam menanti buah hati yang diabadikan melalui tulisan ini tak henti membuat hati saya terenyuh, diri saya tertampar, bahkan air mata saya enggan berhenti menetes. Hanum Salsabila Rais seorang perempuan lulusan kedokteran gigi dari Universitas ternama di Kota Pelajar ini bertemu dengan sosok laki-laki yang kelak menjadi tempatnya merebah dari segala gundah, penguat dari segala lemah, tempatnya menyalurkan sampah-sampah, ide-ide, dan teman diskusi dalam hidupnya.

Itulah Rangga yang tak tahu mengapa ia hadir tiba-tiba di sebuah lorong tempat praktik kedokteran gigi. Menawarkan lagu untuk ayah Hanum yang saat itu sedang sibuk ikut pagelaran besar politik di Indonesia. Siapa sangka, keikhlasannya untuk memberikan lagu tersebut malah dipertemukan dengan Hanum yang kelak Allah takdirkan untuk menemaninya di perjalanan yang lebih jauh.

Kisah dimulai dari bagaimana Allah mempertemukan mereka. Rangga berniat menawarkan karya miliknya malah melihat Hanum yang tersedu karena kehilangan pasien praktik yang ditunggunya. Tanpa menyela, Rangga mendengar percakapan Hanum dari selular bahwa yang ia butuhkan hanyalah satu pasien saja. Sampai di rumah Rangga berpikir rasanya gigi gerahamnya bisa membantu Hanum yang sedang kesulitan. Memang benar seperti perkataan orang, untuk mendapatkan hal yang lebih, membutuhkan sebuah kerelaan. Hati yang ikhlas membantu akan menjadi titik-titik kemungkinan kebaikan lainnya bermunculan. Bermodal merelakan gigi geraham yang dicabut, membuat Rangga mendapatkan Hanum sebagai teman hidup. Layaknya Musa yang hanya berniat membantu kedua gadis mengambilkan air untuk diberi kepada hewan ternak mereka, lalu pulang membawa istri.

Di awal tahun pernikahan, Rangga dan Hanum masih menikmati segala hal yang mereka jalani, hingga sampai pada waktu dimana Rangga mendapat tawaran untuk mengajar di Negeri asing. Layaknya seorang imam yang sudah bermakmum, ia memiliki hak untuk membawa istrinya pergi bersamanya kemanapun ia berpijak. Hanum yang sedang berjaya dalam karirnya waktu itu juga sempat dilema untuk ikut atatu tidak dengan suaminya. Namun, beruntunglah Hanum memiliki Ibu dan Ayah yang menasihatinya agar senantiasa manut dan taat terhadap suami. Hingga akhirnya ia menuruti kata suaminya lalu ikut bersamanya hidup di Negeri asing.

Sampai pada waktu dimana Rangga merasa bahwa rasanya menginginkan buah hati yang menjadi qurrota ‘ayun baginya, melepas tawa sepulang kerja, mendorong semangat dalam menjalani hari, dan tentunya untuk menjadi pemegang amanah dari Tuhan untuk mengurus anak manusia. Hanum yang saat itu belum terlalu memikirkan, berkata yang intinya bahwa, “aku dan mas sudah bahagia berdua, rasanya gak punya anak juga gak apa.”

Rangga tak menyela istrinya. Namun tetap berusaha meningkatkan keromantisan layaknya suami-istri bahkan lebih tepatnya seperti dua sejoli yang sedang kasmaran. Hingga akhirnya Hanum pun satu tuju dengannya. Menginginkan buah hati sebagai penghibur harinya. Singkat cerita, sekian lama mereka melakukan cara “normal” selayaknya hubungan suami-istri pada umumnya, namun tak kunjung mendapat kabar yang mereka inginkan. Setiap Hanum mengalami mual, tidak enak badan, pegal-pegal, mereka kegirangan karena mungkin itu pertanda terdapat janin dalam tubuh Hanum. Namun kebahagiaannya meredup saat Hanum berkata bahwa tanda-tandanya sama seperti ia “datang bulan”.

Mereka merasa mungkin perlu ikhtiar lebih untuk mendapatkan buah hati yang mereka inginkan. Melakukan beberapa kali inseminasi di Rumah Sakit di Luar Negeri. Hasilnya nihil. Mencoba proses pembuahan melalui bayi tabung juga nihil. Sampai pernah sekali Hanum memukuli perutnya, kecewa karena belum juga menghadirkan janin dalam rahimnya. Dengan sigap Rangga memberhentikannya sembari berkata, “say, kamu jangan melakukan itu lagi ke rahim tempat anakku.”

Tangis Hanum pecah. Ia tersedu bahkan seakan “kecewa” dengan Tuhan. Mengapa orang lain yang menyia-nyiakan anak yang sudah dilahirkan segampang itu Dia memberinya, namun mengapa ia yang sudah berusaha sekeras itu belum juga dipercayai-Nya. Beruntunglah Hanum yang memiliki Rangga disampingnya. Rangga selalu berada didekatnya disaat-saat Hanum bahkan mengalami depresi yang parah. Ibu dan Ayahnya pun berperan sangat penting bagi kehidupan Hanum. Bahkan tangis saya tak kuasa saat membaca bagian dimana Ayahnya berdoa dalam sepertiga malamnya dikhususkan untuk Hanum & Rangga agar memiliki keturunan, dan di belakang Ibunya mengamininya tanpa bosan dan tak henti-hentinya.

Benar saja, terkadang jalan Allah memang datang di saat seseorang berserah sejadi-jadinya, agar kita paham memang sejatinya Allah-lah yang menghendaki segalanya terjadi. Berusaha dengan ilmu pengetahuan apapun, usaha manusia sebegitu kerasnya pula jika memang Allah belum memberi, maka tak akan jadi. Takdir yang dirajut dan tersimpan rapih di Lauhul Mahfuz juga hanya Allah yang mengetahui. Hingga pada tahun ke sebelas pernikahan mereka, Hanum dan Rangga melalui usaha yang tulus dari seorang Ibu dan Ayah disaat anak dan menantunya itu sudah pasrah, takut mengecewakan kedua orang tuanya, Allah malah memberikan mereka hadiah yang selama ini mereka nantikan. Terdapat janin di rahim Hanum, dan ia adalah Sarahza yang akan lahir ke dunia ini tempat dimana manusia mendapat penuh ujian.

Saya percaya bahwa buku yang meminang pemiliknya. Beberapa bulan yang lalu, I Am Sarahza saya beli karena mungkin terdapat pelajaran di dalamnya. Ternyata saya salah, I Am Sarahza bukan hanya memberi pelajaran, namun memberikan saya harapan. Harapan agar senantiasa berharap kepada-Nya. Dalam konteks apapun. Harapan membuat kita hidup. Bayangkan di setiap harinya, diri kita tanpa harapan. Mungkin tak ayal kita hanyalah seonggok daging yang berjalan menjalani hari tanpa tujuan. Buku ini mengingatkan saya kembali untuk menjadikan sabar dan syukur di setiap yang hadir dalam hidup. Dan tentu, agar tetap berharap.

Mungkin tidak asing bagi kita mendengar kalimat, kepahitan dalam hidup adalah berharap dengan manusia. Benar. Tidak sepatutnya memang kita berharap terhadap manusia. Tugas kita hanya berikhtiar. Berikhtiar untuk senantiasa menjalani segala kehidupan demi mencapai ridho-Nya. Satu yang saya yakini setelah membaca I Am Sarahza adalah agar tetap berharap kepada Allah, yakin bahwa Dia tak pernah dusta terhadap janji-Nya. Tidak akan pernah dusta terhadap orang-orang yang bersabar dan bersyukur serta hanya mengharap iradah-Nya.

Judul Buku:
I Am Sarahza

Penulis Buku:
Hanum Salsabila Rais & Rangga Almahendra

Penerbit Buku:
Republika

Tahun Terbit:
2018

Tebal Halaman:
317

Ukuran Buku:
20.5 x 13.5 cm

ISBN:
9786025734212

--

--

Amanda Azallia
Amanda Azallia

No responses yet